Breaking News
Loading...
Rabu, 08 Agustus 2012

Info Post

Total kredit macet hapus buku bank BUMN mencapai Rp 90 triliun, Rp 22 triliun di antaranya milik PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI)
DPR tengah memfinalisasi Rancangan Undang- Undang (RUU) Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah, yang menegaskan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara, melainkan piutang korporasi. 

Regulasi itu diharapkan segera selesai, sehingga bank BUMN setara dengan bank swasta dalam menyelesaikan kredit macet.

Selama ini, bank BUMN merasa tidak ada kesetaraan perlakuan (same level of playing field) dengan bank swasta, karena tidak boleh melakukan haircut. 

Hingga kini, total kredit macet hapus buku bank BUMN mencapai Rp 90 triliun, Rp 22 triliun di antaranya milik PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI).

Namun, kredit macet tersebut sulit diselesaikan, karena bank BUMN dilarang melakukan diskon terhadap utang pokok. 

Padahal, jika bisa di-haircut, sekitar 20 persen (Rp 18 triliun) dari kredit macet di bank BUMN, kemungkinan bisa diselesaikan atau dibayar, sehingga menambah likuiditas bank BUMN.

Demikian rangkuman keterangan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Dirut BNI Gatot Mudiantoro Suwondo, Dirut PT Bank Mandiri Tbk Zulkifli Zaini, dan pengamat perbankan Ryan Kiryanto. Mereka dihubungi Investor Daily di Jakarta, secara terpisah.

“RUU tersebut tengah digodok dan difinalisasi di DPR, sudah 95 persen jadi atau mau selesai. Dengan adanya UU baru akan jelas bahwa piutang BUMN itu bukan piutang ataupun tagihan negara,” kata Agus Martowardojo di Jakarta.

Selama ini, UU yang ada mengatur bahwa piutang BUMN mer upakan piutang negara. Hal ini dinilai merugikan bank BUMN, karena tidak bisa selincah bank swasta dalam melakukan haircut kredit macet.

“Sesudah ada UU baru, bank BUMN dapat melakukan penyehatan portofolio kredit, restructuring, atau haircut dan ini bukan merupakan kerugian negara,” papar mantan dirut Bank Mandiri itu.

Gatot menegaskan, BNI dan tiga bank BUMN lain sebenarnya siap untuk berkompetisi dengan kelompok bank lain, termasuk bank asing. 

“Hanya saja, selama ini bank BUMN merasakan adanya ketidaksetaraan perlakuan. Kalau mau diminta bersaing oke, tapi aturan bank pemerintah harus disamakan dengan swasta,” ujar dia.

Ia menjelaskan, hingga kini, bank BUMN harus menaati delapan aturan. Sejumlah UU yang berlaku menyebutkan bahwa aset-aset BUMN, termasuk bank, dimiliki oleh negara. Tapi, liability atau kewajiban menjadi tanggung jawab BUMN bersangkutan.

“Kami merasa, untuk dapat tumbuh dan berkembang di tengah persaingan industri yang ketat, bank-bank BUMN kadang kala harus berjuang sendiri tanpa dukungan otoritas dan pemerintah. Ini seperti kalau aset punya istri, tapi liability punya suami. Rugi Rp 1 pun di aset, itu dianggap merugikan negara dan urusannya bisa ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ucap Gatot.

Sementara itu, di bank swasta, baik aset maupun liability menjadi kewenangan penuh korporasi. Tidak adanya kesetaraan perlakuan antara bank BUMN dan swasta, lanjut Gatot, terlihat jelas dalam penyelesaian kredit macet ini.

Ia menjelaskan, hingga kini, total kredit macet hapus buku bank BUMN mencapai Rp 90 triliun, namun sulit diselesaikan karena bank BUMN dilarang melakukan diskon terhadap utang pokok. Padahal, semestinya likuiditas bank BUMN juga dijaga.

“Kalau kami bisa bertindak seperti halnya bank swasta, dengan mengacu pada recovery rate BPPN sekitar 20 persen, dana yang bisa kembali diperoleh bank BUMN dari kredit macet itu sebesar Rp 18 triliun. Jika dipukul rata, masing-masing bank bisa mengantongi dana tunai Rp 4,5 triliun. Tapi, kalau sekarang dilakukan kami bisa masuk KPK,” tandas Gatot.

sumber: www.beritasatu.com